Jenuh dengan suasana rumah; mengerjakan tugas-tugas yang masih numpuk di miss lepi-ku, yang kulakukan itu dan itu lagi. Ada tawaran di grup JALA PRT dari Kordinator JALA, mbak Lita untuk menjadi volunteer tentang sharing cara mengoperasikan komputer bagi teman-teman Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Sapulidi di Terogong, langsung aku mengajukan diri menjadi relawan. Waktu yang disepakati adalah setiap Jumat sore. Jadi, sudah menjadi agenda wajib bagiku mengunjungi Jakarta untuk tujuan ini.
Jumat, 20 November 2015 adalah hari pertamaku menjalani peran sebagai relawan instruktur komputer bagi teman-teman PRT. Menjadi bagian dari JALA PRT bukan hal yang baru bagiku. Semenjak 2014 lalu, aku adalah relawan di JALA, walaupun belum berperan apa-apa sih. Tapi, sejujurnya hati saya sudah terlanjur jatuh cinta pada JALA PRT dan kegiatan yang ada di dalamnya. Apalagi, saya belajar banyak dari teman-teman PRT; belajar dari semangat belajar mereka, bagaimana mereka berorganisasi di tengah kesibukan sebagai PRT, bagaimana mereka harus berjuang sebagai perempuan tangguh dan mencoba untuk menganggap "biasa" sebuah perlakuan yang kadang diskriminatif. Dari mereka aku belajar banyak hal. Maka, kesyukuran atas nikmat pembelajaran dari para perempuan inspiratif itu, membuatku ingin terus menjadi bagian dari JALA PRT.
Sekitar pukul lima sore hari, aku dan mbak Lita menuju Terogong menggunakan taksi.Tiba di lokasi sekitar pukul 18. 36. Di Sekretariat masih sepi, hanya ada kami berdua. Sejujurnya, saya terkagum melihat kondisi sekretariat SPRT Sapulidi yang besar dan rapi. Apalagi, ketika masuk ruangan komputer, ada sekitar 7 unit komputer berjejer di ruang yan lumayang cukup untuk 10 orang.
Sekitar pukul 19.00, kelas dimulai. Ada beberapa teman PRT yang sudah saya kenali, ada juga yang memang asing. Setiap harinya, jumlah PRT yang mendaftarkan diri sebagai anggota di SPRT Sapulidi bertambah. Sebuah peningkatan yang baik bagi PRT akan kesadaran pentingnya berorganisasi. Dengan kemampuan sekedarnya, saya mencoba sharing mengoperasikan komputer mulai dari log in, mengenal Ms. Word, Excel, dan Power point serta fungsinya, bagaimana mengoperasikan Ms. Word, menyimpan data dan men-shut down komputer. Hal seperti itu diulang untuk yang kedua kalinya. Di sesi ketiga, saya meminta teman-teman untuk membuat cerita tentang kejadian yang dialami masing-masing. Setelah mereka selesai membuat beberapa paragraf tentang pengalaman, aku mulai menjelaskan dasar-dasar menulis, cara penggunaan tanda baca dan penggunaan kalimat yang sesuai EYD.
Melihat teman-teman PRT yang begitu antusias belajar, bahkan suasana ruangan komputer yang seperti sauna saja, tak terasa panas. Justru, bagiku secara pribadi, begitu terasa atmosfer positif dari mereka. Aku berkali-kali senyum bangga melihat mereka yang begitu semangat belajar. Bahkan aku menulis di layar projector sebuah kalimat, "tidak ada kata terlambat untuk belajar."
Ya, siapapun berhak pintar. Siapapun berhak tahu segala macam ilmu pengetahuan, selama ada media untuk mengaksesnya. Dan terpenting adalah adanya keinginan kuat untuk belajar dan menjadi bisa. Dua jam berlalu, sepertinya begitu singkat pertemuan malam ini. Pukul 21.00 kelas selesai. Saya memberikan PR untuk teman-teman. Dalam satu kali pertemuan saja, progres-nya sangat besar. Saya tidak kesulitan menfasilitasi mereka. Harapan saya, semoga ke depannya teman-teman PRT bisa memanfaatkan kemampuan menulisnya dengan menggunakan media sosial untuk memberikan informasi kepada masyarakat luas bahwa PRT adalah Pekerja, bukan Pembantu. PRT tidak seharusnya "dikotakkan' dalam kelompok yang termarjinalkan. PRT itu cerdas, mereka bahkan bisa lebih cerdas dari siapapun yang hidupnya sudah difasilitasi oleh berbagai ilmu pengetahuan.
Yang mungkin terlihat beda, karena PRT belum mendapatkan akses yang baik terhadap fasilitas-fasilitas yang sudah orang lain peroleh. Jika akses pendidikan itu bisa mereka dapatkan dengan baik, tentu mereka akan mendapatkan kesetaraan dalam hal pengetahuan dan peran mereka tak hanya sebatas urusan pekerjaan domestik saja. Buktinya, dengan adanya SPRT Sapulidi dan SPRT lain yang tersebar di beberapa kota di Indonesia seperti di Jogja, Semarang, NTT, Sulawesi, Jabodetabek, Medan, dan Lampung, adalah bukti bahwa PRT bisa berorganisasi di tengah kesibukannya sebagai mengurus pekerjaan domestik. Bahkan, mereka bisa sekolah kan? Yang menjadi PR bersama justru, apakah sebagai majikan, kita sudah bisa memenuhi hak-hak dasar mereka?
Sudahkah PRT mendapatkan hak libur mingguan, cuti haid/tahunan, jam kerja maksimal 8 jam/hari, upah layak, jaminan sosial, makan dan istirahat yang cukup serta tanpa adanya diskriminasi? Jawabannya, tentu ada di hati kita masing-masing.
Tepat pukul 23.30, catatan ini kubuat. Sejenak aku melupa tentang kehampaan yang mendera. Walau sesekali, aku merasakan kekosongan yang begitu membekas, tapi aku berusaha untuk menepis semuanya. Hidupku tak melulu tentang diriku. Ada hal lain yang perlu kupikirkan, dan itu adalah caraku untuk berdamai dengan keadaan.
Terima kasih untuk teman-teman PRT di Terogong yang membuat saya tersenyum malam ini. Tak pernah bosan belajar banyak dari kalian semua. Semangat terus berorganisasi, semangat belajar dan semoga banyak PRT yang mulai berorganisasi.