Breaking News

Jumat, 20 November 2015

Kesibukan yang Kurindukan

Jalan begitu panjang, namun yang kupunya hanyalah hampa. Tidak akan berdiam pada situasi yang akan menyeretku pada sebuah kenyataan bahwa aku kalah oleh masalah. Aku tentu tidak akan berlarut pada semuanya. Yang kubutuhkan adalah kesibukan. Kesibukan yang tak menyisakan sedikit waktu untuk sendiri. Dan, Tuhan seolah menjawab doaku. Yang kupikir akhir November hingga Desember ini agendaku sedikit renggang, ternyata lebih padat dari yang kuperkirakan. Justru kesibukan ini adalah spirit bagiku untuk survive. 

Jenuh dengan suasana rumah; mengerjakan tugas-tugas yang masih numpuk di miss lepi-ku, yang kulakukan itu dan itu lagi. Ada tawaran di grup JALA PRT dari Kordinator JALA, mbak Lita untuk menjadi volunteer tentang sharing cara mengoperasikan komputer bagi teman-teman Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Sapulidi di Terogong, langsung aku mengajukan diri menjadi relawan. Waktu yang disepakati adalah setiap Jumat sore. Jadi, sudah menjadi agenda wajib bagiku mengunjungi Jakarta untuk tujuan ini.

Jumat, 20 November 2015 adalah hari pertamaku menjalani peran sebagai relawan instruktur komputer bagi teman-teman PRT. Menjadi bagian dari JALA PRT bukan hal yang baru bagiku. Semenjak 2014 lalu, aku adalah relawan di JALA, walaupun belum berperan apa-apa sih. Tapi, sejujurnya hati saya sudah terlanjur jatuh cinta pada JALA PRT dan kegiatan yang ada di dalamnya. Apalagi, saya belajar banyak dari teman-teman PRT; belajar dari semangat belajar mereka, bagaimana mereka berorganisasi di tengah kesibukan sebagai PRT, bagaimana mereka harus berjuang sebagai perempuan tangguh dan mencoba untuk menganggap "biasa" sebuah perlakuan yang kadang diskriminatif. Dari mereka aku belajar banyak hal. Maka, kesyukuran atas nikmat pembelajaran dari para perempuan inspiratif itu, membuatku ingin terus menjadi bagian dari JALA PRT.


Sekitar pukul lima sore hari, aku dan mbak Lita menuju Terogong menggunakan taksi.Tiba di lokasi sekitar pukul 18. 36. Di Sekretariat masih sepi, hanya ada kami berdua. Sejujurnya, saya terkagum melihat kondisi sekretariat SPRT Sapulidi yang besar dan rapi. Apalagi, ketika masuk ruangan komputer, ada sekitar 7 unit komputer berjejer di ruang yan lumayang cukup untuk 10 orang.



Sekitar pukul 19.00, kelas dimulai. Ada beberapa teman PRT yang sudah saya kenali, ada juga yang memang asing. Setiap harinya, jumlah PRT yang mendaftarkan diri sebagai anggota di SPRT Sapulidi bertambah. Sebuah peningkatan yang baik bagi PRT akan kesadaran pentingnya berorganisasi. Dengan kemampuan sekedarnya, saya mencoba sharing mengoperasikan komputer mulai dari log in, mengenal Ms. Word, Excel, dan Power point serta fungsinya, bagaimana mengoperasikan Ms. Word, menyimpan data dan men-shut down komputer. Hal seperti itu diulang untuk yang kedua kalinya. Di sesi ketiga, saya meminta teman-teman untuk membuat cerita tentang kejadian yang dialami masing-masing. Setelah mereka selesai membuat beberapa paragraf tentang pengalaman, aku mulai menjelaskan dasar-dasar menulis, cara penggunaan tanda baca dan penggunaan kalimat yang sesuai EYD.

Melihat teman-teman PRT yang begitu antusias belajar, bahkan suasana ruangan komputer yang seperti sauna saja, tak terasa panas. Justru, bagiku secara pribadi, begitu terasa atmosfer positif dari mereka. Aku berkali-kali senyum bangga melihat mereka yang begitu semangat belajar. Bahkan aku menulis di layar projector sebuah kalimat, "tidak ada kata terlambat untuk belajar." 

Ya, siapapun berhak pintar. Siapapun berhak tahu segala macam ilmu pengetahuan, selama ada media untuk mengaksesnya. Dan terpenting adalah adanya keinginan kuat untuk belajar dan menjadi bisa. Dua jam berlalu, sepertinya begitu singkat pertemuan malam ini. Pukul 21.00 kelas selesai. Saya memberikan PR untuk teman-teman. Dalam satu kali pertemuan saja, progres-nya sangat besar. Saya tidak kesulitan menfasilitasi mereka. Harapan saya, semoga ke depannya teman-teman PRT bisa memanfaatkan kemampuan menulisnya dengan menggunakan media sosial untuk memberikan informasi kepada masyarakat luas bahwa PRT adalah Pekerja, bukan Pembantu. PRT tidak seharusnya "dikotakkan' dalam kelompok yang termarjinalkan. PRT itu cerdas, mereka bahkan bisa lebih cerdas dari siapapun yang hidupnya sudah difasilitasi oleh berbagai ilmu pengetahuan.

Yang mungkin terlihat beda, karena PRT belum mendapatkan akses yang baik terhadap fasilitas-fasilitas yang sudah orang lain peroleh. Jika akses pendidikan itu bisa mereka dapatkan dengan baik, tentu mereka akan mendapatkan kesetaraan dalam hal pengetahuan dan peran mereka tak hanya sebatas urusan pekerjaan domestik saja. Buktinya, dengan adanya SPRT Sapulidi dan SPRT lain yang tersebar di beberapa kota di Indonesia seperti di Jogja, Semarang, NTT, Sulawesi, Jabodetabek, Medan, dan Lampung, adalah bukti bahwa PRT bisa berorganisasi di tengah kesibukannya sebagai mengurus pekerjaan domestik. Bahkan, mereka bisa sekolah kan? Yang menjadi PR bersama justru, apakah sebagai majikan, kita sudah bisa memenuhi hak-hak dasar mereka?

Sudahkah PRT mendapatkan hak libur mingguan, cuti haid/tahunan, jam kerja maksimal 8 jam/hari, upah layak, jaminan sosial, makan dan istirahat yang cukup serta tanpa adanya diskriminasi? Jawabannya, tentu ada di hati kita masing-masing.

Tepat pukul 23.30, catatan ini kubuat. Sejenak aku melupa tentang kehampaan yang mendera. Walau sesekali, aku merasakan kekosongan yang begitu membekas, tapi aku berusaha untuk menepis semuanya. Hidupku tak melulu tentang diriku. Ada hal lain yang perlu kupikirkan, dan itu adalah caraku untuk berdamai dengan keadaan.

Terima kasih untuk teman-teman PRT di Terogong yang membuat saya tersenyum malam ini. Tak pernah bosan belajar banyak dari kalian semua. Semangat terus berorganisasi, semangat belajar dan semoga banyak PRT yang mulai berorganisasi.
Read more ...

Kamis, 19 November 2015

Tentang hujan

Ceritanya mau bikin judul yang sok romantis. Menyoal hujan, tentu suasananya itu melow-melow gimana... gitu? Sejak kecil, musim hujan adalah musim yang selalu membuat saya bahagia; alasan bisa berselimut lebih lama dan absen sekolah ketika hujan deras (ini tidak baik, sungguh. 😅), seluncuran bebas di lantai rumah nenek, saling siram air sama teman, kekeceh (memainkan air genangan hujan yang tersisa di tanah), dan berlari sesuka hati seperti di pelem-pelem India gitu (yang ini dipake untuk sok-sok drama. 😂😂😂).

Nah, ritual hujan-hujanan itu masih saya akrabi ketika berseragam putih merah. Setelah itu, merasa sudah remaja, gengsi mulai timbul dan memilih pola bermain yang "aman versi remaja". Waktu SD, setiap mau hujan-hujanan,  saya harus ijin ke ibu Kadang, saya merajuk kepada ibu karena sering dilarang hujan-hujanan. Memang sih, larangan ibu itu adalah bentuk kekhawatiran karena setiap selesai hujan-hujanan pastinya saya itu pilek atau demam. Tapi bukan saya kalau kehilangan cara untuk menikmati hujan wakty itu. Hihihi....

Nah, karena sindrom kekanak-kanakan sedang merasuk ke saya, akibat beberapa hari ini mainnya sama anak SD; petisan bareng, main, sampai acara papahare, membuat saya merindukan masa kecil. Saya merindukan masa dimana pola pikir saya masih sederhana, tidak serumit sekarang ini. Yang ada di pikiran saya hanya sekolah dan segala persoalannya, jajan, dan main. Bertengkar dengan temanpun hanya beberapa hari saja, selebihnya kembali normal tanpa ada dendam setelah baikan. Begitu indah dan sederhana.

Lagi mumet-mumetnya ini otak, siang tadi turun hujan deras. Saya segera meminta ijin ke ibu, "Ibu, mau hujan-hujanan ya."

Ibu yang baru selesai shalat, tersenyum, "iya, sana. Jangan pakai baju itu. Pakai yang pendek aja. Nanti kotor itu. Handuknya siapkan dulu di kamar mandi!"

Saya segera masuk kamar dan mengganti pakaian sesuai saran ibu. Tanpa peduli apapun, saya segera berlari menikmati tetesan air hujan. Saya melepas atribut sebagai orang "dewasa" (baca: tua. 😜), melepaskan sejenak hal-hal yang mengganggu, melepaskan tugas-tugas dan membiarkan diri saya menjadi bagian dari hujan itu sendiri. Sungguh, yang saya rasakan adalah... betapa semua yang terlepas itu memberikan keringanan. Semuanya begitu indah dan benar-benar nikmat.

Saya membiarkan tubuh saya basah kuyup, membiarkan kaki belepotan dan membuat footprint di tanah yang becek. Terlihat jelas telapak kaki saya memembuhi halaman rumah yang sudah becek. Beberap jejak tertutup genangan air hujan yang semakin deras. Mungkin, saya meluangkan waktu bermain hujan selama lima belas menit. Kemudian saya bergegas ke kamar mandi. Kebetulan juga, sejak pagi belum mandi. 😂😂😂

Rasanya lelah, setelah berlarian tadi. Saya baru saja selesai mandi. Hujan belum juga reda. Hawa menjadi semakin dingin. Saya membawa selimut tebal dan menariknya dari kakak karena dia sedang tidur di kamar saya.  Saya merebahkan tubuh di kasur lantai ruang tamu.

Sementara itu, kedua orang tua saya sedang duduk di teras; mengobrol, menikmati secangkir kopi berdua, dan ngemil kerupuk gadung dan ranggining. Saya mulai merasakan kantuk.

Diantara sadar dan tidak, terdengar pintu terbuka. Tak lama, abah berbicara" bu, si hideung ja sare." Pintu kembali ditutup.

Ibu masuk dan mengecek saya. Saya bisa mendengar suaranya yang sangat dekat, "buh, haneuteun amat si ene." (*kayaknya hangat banget si neng.)

Langkah ibu menjauh, ibu sudah di luar bersama abah, "eta geus huhujanan, capek boa. Ja sarena lepa amat." Kata ibu pada abah. (*habis hujan-hujanan, capek kali. Tidurnya nyenyak banget.)

"Ari kitu ngahajakeun huhujanan eta si hideung?" Tanya abah sambil tertawa. (*memangnya sengaja hujan-kehujanan?)

Ibu jawab ya. Selebihnya, saya tidak bisa menyimak obrolan keduanya, karena sudah terseret pada tidur yang nyenyak.

Selalu menyenangkan ketika hujan turun. Ada kenangan yang begitu hangat tertanam; tentang keceriaan, tentang sebuah rasa yang menghangatkan, dan sebuah keromantisan. Rintiknya, adalah alunan yang begitu merdu. Nyanyian alam tentang hujan dan hujan... selalu kurindukan.

Read more ...

Minggu, 15 November 2015

My partner in crime

Selalu berdebat, saling jotos waktu kecil, gak bosen dibikin nangis, dan kembali akur setelah puas teriak-teriak atau kejar-kejaran, pastinya... selalu ada kisah yang dibagi. Dia adalah kakakku. Biasa kusebut Samin, Sam, Jibril, ataupun Delan (terasi.red).

Dia si pangais bungsu, tentunya menjadi saingan dan teman terdekatku. Kami memiliki banyak kesamaan. Orang tua sering menjuluki kami "si Lia itu Ade versi perempuan, dan si Ade itu Lia versi laki-laki. Akur. Sebelas dua belas." Itu kalimat ampun abah setiap salah satu dari kami membuat ulah.

Sudah bertahun terpisah karena kami merantau, sekarang kami tinggal serumah setelah "rehat" jadi anak rantau. Masih ada pertengkaran kecil, tapi sudah tidak seekstrim dulu. Sekarang masalah prinsip. Kami memang sering berdiskusi tapi untuk beberapa hal, aku kesulitan untuk melibatkannya. Termasuk melibatkannya dalam kegiatan Saung Bambu.

Awal SB dirintis, aku pernah mengajaknya, tapi dia tidak atau lebih tepatnya belum mau terlibat kegiatan. Dia tidak menunjukan ketertarikan pada kegiatan ini. Akupun tidak mungkin memaksanya untuk mau menjadi bagian yang kujalani. Walau saudara, tentu kami memiliki jalan berbeda.

Satu tahun Saung Bambu berdiri. Dia melihat bagaimana aku dan teman-teman saling bahu membahu untuk tetap konsisten pada kegiatan Saung Bambu. Dan semalam, kami mulai berdiskusi. Aku bahagia dan tentu bangga pada kakakku ini.

"Ia, sini duduk!" Dia menepuk lantai yang dia duduki, agar aku duduk di sebelah kanannya. Aku tidak langsung menerima tawarannya. Aku justru mendekat kearah ponsel yang sedang ku charger. Kebetulan malam itu mood ku sedang tidak bagus.

Dia bertanya kenapa aku cemberut? Aku katakan saja padanya untuk tidak mengajakku berbicara sampai mood ku membaik. Aku langsung pergi ke kamar untuk menenangkan diri. Setelah beberapa jam mood ku membaik, aku keluar. Dia memijat telapak kakiku dan bertanya dengan senyum menggoda," sudah selesai merajuknya? Mood nya sudah membaik?"

Posisiku yang sedang merebahkan tubuh di kasur lantai di ruang tamu, menjawab nya dengan senyum dan anggukan. Dia lalu duduk di sampingku.

"Jadi gini ya. Aka (cara dia mengaddresskan diri sebagai kakak) punya rencana untuk membuat kelas Saung Bambu di kebun yang bawah. Lokasinya pinggir jalan dan strategis. Biar adik-adik tidak kehujanan kalau belajar."

Aku menyimak setiap tuturnya. Dia mulai memintaku untuk menyediakan kertas dan pulpen. Dia kemudian membuat oret-oret tentang rancangan bangunan yang sangat sederhana, dengan kalkulasi bahan bangunan yang dibutuhkan. Setelah mendiskusikannya, kami sepakat bahwa luas bangunan yang ideal adalah 3x9m.

Aku bahagia, karena secara diam, kakakku ini memperhatikan kegiatan adiknya. Dia justru memberikan dukungan ide dan tenaga untuk Saung Bambu. Belakangan ini, kakakku juga mulai memperhatikan caraku berinteraksi dengan relawan. Dia tak sungkan mengingatkan aku ketika aku lalai. Aku beruntung, dengan posisiku yang masih belajar, dari lingkungan intiku memberikan dukungan sepenuhnya untukku. Dari mulai abah dan ibu yang menjadikan Saung Bambu adalah bagian terpenting dari hidupnya. Bahkan relawan sudah mereka anggap sebagai anak. Relawan sudah terbiasa mengacak-acak dapur dan menikmati apa yang tersaji di rumah. Orang tuaku memang memberikan ruang seluasnya bagi relawan. Rumahku adalah rumah kedua relawan.

Kakak-kakakku, termasuk kak Ade yang sekarang menjadi "konsultanku". Dia adalah teman diskusiku dalam memutuskan sebuah sikap. Karena memang, aku bukan orang yang terlalu baik sebagai decision maker.

Untuk rencana pembangunan kelas Saung Bambu alakadarnya, kakakku adalah spirit awal bagiku untuk memulai. Dia memberikan kepercayaan bagiku untuk merealisasikannya. Dia menjamin bahwa ini akan segera terlaksana. Dan hal yang aku syukuri adalah ketika dia berkata, "yuk, kita kerjakan bersama. Aka akan bantu sebisa mungkin!"

"Yuk!" Satu kekuatan kata yang kumaknai sebagai sebuah ajakan yang memiliki nilai besar bagiku. Betapa kata itu menjadi power yang hebat untuk menyulut semangatku. Aku seperti ter-charge oleh semangat kakakku. Kami mulai kompak dalam segala hal ternyata. Dan waktu adalah media untuk proses sebuah pendewasaan. Aku merasakan perubahan yang positif darinya, dari hari ke hari.

You are more than my brother and my bestfriend. You are my PARTNER IN CRIME.

Read more ...

Tentang sebuah sikap

Jatuh cinta, ya... akupun terjatuh di dalamnya. Semua manis di awal, seolah semesta begitu merestui jalinan yang kami sepakati berdua. Perlahan, waktu menunjukan hal lain dari sekedar indah dan bahagia. Dua manusia dengan isi kepala yang berbeda, tentu saja ada konflik yang membuat suasana hubungan kami goyah. Hingga pada hitungan yang baru seumur jagung, kami berpisah.

Patah hati? Tentu saja. Kalian bisa bayangkan ketika kita sudah memiliki harapan lebih, merencanakan keberlanjutan hubungan, dan tentu tujuannya bukan sekedar untuk "singgah" lalu pergi. Kemudian perpisahan menjadi akhir, bisa dibayangkan betapa semuanya seolah hancur dan tak berbekas.

Berusaha menerima kenyataan, membuatku harus mampu mengontrol emosiku yang siklusnya naik turun secara ekstrim. #aelaaahhhh.... bahasanya. :-). Akupun berusaha menepis benci yang terkadang tertuju padanya dan aku segera mengantisipasi dengan mengingat hal-hal baik tentangnya. (Manusiawi kan?). Bagaimanapun aku kecewa dengan kenyataan, tidak sepantasnya membenci seseorang yang pernah membuatku bahagia. Apalagi, menjelek-jelekannya, tentu itu bukan sikap penerimaan yang baik. Aku justru menyiasati patah hati dengan berusaha menghubunginya, menjalin pertemanan dan sebisa mungkin "memaafkan" kesalahan (baik yang aku ataupun dia lakukan), walau sudah ada batasan tentunya.

Tentu saja ini caraku agar tidak ada dinding yang terlalu tebal yang membatasi kami. Aku masih menyayanginya. Kami masih berteman baik pasca putus. Walau terkadang, dalam situasi tertentu aku terbawa perasaan. Hahaha.... itu wajar. 😁😁😁

Awalnya, aku masih suka mengatakan bahwa aku merindukannya, tujuannya agar dia tahu bahwa aku memang merindukannya, terlepas dari tanggapannya seperti apa. Aku cenderung lebih terbuka tentang apa yang kurasakan dan kupikirkan.

Semula aku merasa sikapku ini salah. Aku mengganggap bahwa prinsipku yang tidak ingin bermusuhan dengan mantan itu terlalu berlebihan. Tapi, setelah aku membaca postingan Tere Liye yang kira-kira seperti ini, "kita tidak perlu bersusah payah menjelaskan apa yang orang lain tafsirkan kepada kita, karena cukup menyikapinya dengan cara yang konkrit."

Ya, untuk urusan hati, aku pikir bahwa tidak perlu aku repot-repot menjelaskan apa yang dia tafsirkan tentangku. Tugasku hanya mengerjakan bagian dari orang yang memang mencintainya dengan caraku sendiri. Karena rasa akan menjadi nyata dengan sikap, bukan sekedar ucap. Sekalipun sudah putus, tapi masih mencintainya, jangan pernah berusaha membunuh perasaan itu. Kita tentu tahu apa yang pantas dan tidak pantas untuk dilakukan. Masih cinta ya... masih cinta, buktikan juga dengan sikap. Kalau sudah tidak cinta, ya berhentilah! Jujur bukan keputusan yang salah, selama kita tahu dimana menempatkan porsinya.

Menjalin silaturahim yang baik dengan mantan justru akan mengurangi resiko patah hati dan tentu saja ini penerimaan yang dewasa kan? Udah bukan jamannya lagi pasca putus menjelek-jelekan mantan. Sekalipun kita jelek-jelekan dia... dia tidaj akan kembali, justru hanya menambah daftar penyakit hati saja. Keuntungan lain  berteman dengan mantan adalah kita tidak perlu direpotkan dengan unek-unek karena bisa lebih leluasa mengungkapkannya versi teman. Lagipula, kita sebagai manusia hanya berencana (berencana setia, ingin membahagiakan dia, langgeng, dan seterusnya...) tapi Tuhanlah yang menentukan. Tugas kita hanya berusaha, Tuhanlah yang memutuskan. Setelah berencana dan berusaha, tugas kita adalah menerima. Pahit memang. Sakit memang. Hancur, tentu saja iya. Tapi hidup tidak berhenti disitu juga kan?

Ekhm.... edisi curhat malam-malam. Udah lama gak ngoprek blog, sekali nya nulis, tentang hal yang beginian. Halaaaaah.... yasyudahlaaaah... mungkin motivasi menulisnya dimulai dari sini. Hihihi....

Berteman dengan mantan? Why not?

Read more ...

Minggu, 10 Mei 2015

Saat MacBook Air Ngeblank tanpa permisi

Okay, let me tell you something about my lovely. Nama Kiara, Mac kesayangan saya yang udah lebih dari dua tahun jadi partner yang setia. Sejak awal dia diresmikan menjadi milik saya, Kiara emang gak ribet. Kemanapun perginya, bawa dia gak bikin berat. So simple and handy. Banyak banget dokumen penting dan rahasia hidup yang udah saya simpan di kiara. Dan kiara bisa diandalkan untuk hal itu.

Kejadiannya seminggu lalu, pas saya lagi asik-asiknya duduk ngadem di perpus sambil cas hape dan juga akses Bimay, dia ngadat.

Kebetulan, saya inget kalau hari itu terakhir ngerampungin antologi catatan perjalanan. Langsung Mac saya nyalain. Eh, saya dibikin shock karena tampilannya putih semua. Saat itu juga saya coba shut down dan nyalain lagi. Emang sih, nyala. Logo apple-nya juga ada. Tampilan untuk password nya juga ada. Tapi pas udah benar-benar nyala, cuma warna putih bray. So, Mac saya ngeblank. Kayaknya kiara lelah. :-(

Saya masih bisa (berlagak) biasa aja dan nyoba cari informasi sana sini tentang Mac. Hasilnya, ya... gitu deh. Malah ada informasi yang bikin saya galau, bisa jadi datanya ilang semua selesainya di servis. Ceritanya saya nangis. Ngebayangin banyak hal yang udah bertahun-tahun di simpan bakal raib. Kalau masalah biaya servisnya berapa, biar mahal masih bisa dipikirin (bisa nanti-nanti maksudnya... nunggu uang terkumpul dulu. Hehehe). Tapi, kalau data yang hilang, harus kemana nyarinya? Kehilangan data sama galaunya kayak kehilangan pacar. #plaaakkkk.. Ngomongin pacar, kayak punya aja. Hahaha.

Oke, kembali ke kegalauan akut tingkat dewa, saya mulai cari-cari tempat servis produk apple resmi. Dapetlah info di untuk eStore di Ratu Plaza.

Saat itu saya udah pasrah kalau emang data harus hilang. Toh, semua yang ada memang sementara. #Cieeee bijaksana. :-). Mulai mikirin estimasi biayanya, sementara tabungan lagi bermasalah. #garukgaruk kepala.

Tetiba saya kepikiran kerabat yang kerja di Google dan memang pengguna produk apple. Jadi deh saya dikasih arahan. Semoga ini juga berguna buat temen-temen yang bernasib sama kayak saya.

1. Saat mac ngeblank dan cuma ada tampilan putih di layar, cukup shut down.
2. Switch on mac sambil tekan tombol shift, dan lepas tombol shift saat logo apple tampil.
3. Tunggu sampai loading. Karena biasanya lama tuh loadingnya.
4. Udah gitu, tampilkan layar mac nya. Buat yang dikunci, otomatis ada tampilan untuk buka kunci
5. Kamu coba restart tanpa perlu ngutak-atik Mac.
5. Restart selesai, safe mood udah beres, Mac kembali tampil ceria lagi.

Selamat mencoba. Semoga bermanfaat dan gak galau lagi. Hehehe....

Read more ...

Minggu, 03 Mei 2015

The way we shared

Satu hari ini, banyak hal yang menyumbat kepalaku. Dan sepertinya sumbatan itu mencipta sakit yang jika tak kutunaikan dalam jabaran cerita, tentu ini tak akan sampai pada apa yang kusebut sebagai healing. Menulis adalah terapi. Itu yang kuyakini
walau tak terlalu apik kutempatkan diksi pada lembar cerita yang terurai. Tentang hari ini, seusai kelas di Saung Bambu, aku dan beberapa relawan Saung Bambu akan menghadiri acara pernikahan sepupu salah satu relawan kami. Setengah satu siang hari, titik-titik hujan memercik pada bingkai kacamataku. Aku tetap melajukan motor menuju tempat yang kami janjikan. Rencana kondangan mengendarai motor harus dibatalkan, mengingat jumlah orang tak memungkinkan untuk ddibonceng. Akhirnya, jalan kaki menjadi keputusan bijak atas nama solidaritas. 

6 orang dari Nurul Fikri, 5 siswa Saung Bambu dan sisanya adalah relawan. Jarak tempuh dari Pematang Warung ke Karees (nama kampung yang hajat) sekitar 3 km. Kami harus melewati kampung Bojong Bunar agar sampai disana. Hujan yang memercik, tetiba menderas. Kami menunggu hingga hujan reda. Setengah jam berlalu, berangkatlah kami ke Karees. Baru beberapa langkah berjalan, sebuah mobil bak melintas. BM-lah kami, meminta pengendara mobil mengantarkan kami ke Karees. Pematang Warung yang merupakan wilayah perbukitan, harus melewati turunan dan tanjakan untuk sampai kesana. Tak lama, kami sampai ke lokasi pernikahan. Masing-masing yang sudah menyiapkan amplop, menyalami keluarga mempelai, walau sebenarnya aku tidak mengenal pengantin tersebut, selain relawan SB. Makan siang dimulai, menu khas hajatan menjadi santapan kami bersama. Selama proses menikmati makanan, tak lepas dari canda tawa yang membuat gaduh suasana hajatan. Makan selesai, kami diminta berfoto (sebenarnya sih meminta untuk berfoto) bersama pengantin. Beberapa kali foto dilakukan, kami berpamitan pada Fitri dan juga pengantin. Maka, sebuah turunan dan tanjakan yang super tinggi menjadi ancaman bagiku yang memang jarang jalan.

Suasana jalan kaki yang menyenangkan tak menutupi rasa lelahku. Kenyang setelah diisi oleh makanan tadi, sepertinya akan hilang dengan cepat, mengingat pembakaran kalori hari ini cukup membuatku lelah. Aku dan beberapa relawan memilih duduk di gardu setelah sampai di kampung. Aku duduk berlama-lama disitu, menunggu keringatku selesai mengalir. Sementara, teman-teman Nurul Fikri memilih istirahat di warung yang letaknya 500 meter dari gardu. Adik-adik yang lima orang tersebut menghampiri mereka. Sekitar 15 berlalu, adik-adik kembali dan membawakan kami segelas air mineral. Aku katakan bahwa aku tidak haus, tapi dia memaksa. 


"Gak usah, kakak mah nanti aja mau jajan es di warung teh Yanah." Ucapku, berusaha menolak.

"Udah, pegang lah kak. Jajan es mah nanti ini. Sekarang mah minum aja. Nih!" Balas Manda, sambil menyodorkan air mineral.

"Ah, gak usah repot-repot. Kalau kakak mau, nanti kakak beli sendiri kok."

"Gak repot kok kak. Udah deh, minum. Udah dibeliin juga." Ucapnya dengan bahasa yang memaksa.

"Ya ampun, perhatian banget sih kalian, jadi terharu kakak."

"Ya udah kak, nangis aja." Balas mereka serentak.


"Huhuhu..." godaku. Aku berlagak sok menangis. Sementara, air yang sudah kulubangi oleh penusuknya, ternyata sedikit tumpah dan membasahi kerudungku. Mereka berteriak, "kaaaaaakkkk. Hahaha..."

Aku ikut menertawakan diriku bersama mereka. Dan, aku meminum air yang diberikan adik-adik manis ini. Jujur, aku terharu. Hal yang sekecil ini, membuat aku merasa tersentuh dengan apa yang mereka lakukan. Mungkin hanya segelas air mineral yang harganya 500 atau 1000 rupiah saja. Tapi, itu adalah bentuk dari rasa sayang dan kepeduliannya. Entah aku yang terbawa perasaan atau memang ini sebuah kejadian yang harus disampaikan dengan bahasa hati, bahwa yang ditangkap adalah niat mereka, rasa khawatir mereka adalah bentuk ikatan kami yang menguat. Ingin rasanya saat itu aku memeluk mereka, mengucapkan betapa aku menyayangi mereka. Tapi, rasanya terlalu berlebihan jika aku terlihat begitu emosional. Ya, aku belajar dari mereka hari ini. Hal sederhana seperti ini kadang akan lebih menyentuh, ketika nilai dari kesederhanaan itu begitu mewah. Karena ketika hati yang berbicara, maka akan sampai pada hati juga.

Menyayangi, tak mesti selalu bersikap manis, tak selalu memberikan kelembutan. Ada ritme yang perlu disesuaikan. Dan mereka tahu, bahwa selama ini aku tegas. Aku tak segan marah di kelas ketika ada yang perlu dibenahi. Aku tidak terlalu suka membuang energi untuk berteriak ketika kelas mulai gaduh. Aku memilih untuk berhenti berbicara ketika aku sedang menyampaikan sesuatu di depan, tapi mereka sibuk dengan obrolan. Dan mereka langsung menyadari bahwa aku sedang "marah", dan kelas hening saat itu juga. Bahkan temanku bilang, jangan terlalu galak pada anak-anak. Aku katakan bahwa aku tidak galak, tetapi belajar untuk tegas. Namun, kriteriaku menurutnya galak. 

Jika pun aku "galak", aku masih punya perasaan. Dan hal tersebut tidak membuat adik-adik menjauh dariku. Karena aku percaya, ketulusan akan menjadi pemenang. 

 Love you, kids. Love you, my little sisters. 

Read more ...

Selamat Hari Pendidikan Nasional

Minggu, 3 Mei 2015 adalah jadwal kelas Saung Bambu. Kali ini, adik-adik diminta untuk menulis curahan hati tentang pendidikan. Isinya seperti apa, kami serahkan kepada mereka. Surat tersebut dibuat untuk memperingati hari pendidikan pada 2 Mei kemarin. Sebagai generasi terdidik, mereka wajib tahu seperti apa pendidikan dan berhak menyampaikan "unek-unek" sebagai bentuk dari keterlibatannya.

Media yang efektif untuk bercerita adalah tulisan. Maka mereka diberikan waktu 25 menit untuk menulis. Selama proses menulis tersebut, mereka dibagi menjadi 6 kelompok yang masing-masing terdiri dari 5 atau 4 siswa, dan di dampingi oleh fasilitator dari Nurul Fikri dan relawan Saung Bambu.

Selesainya menulis, kami mengadakan kegiatan di luar kelas, yaitu di halaman sekolah. Mereka membuat lingkaran dan menyanyi bersama. Kemudian, perwakilan dari mereka maju dan menyampaikan isi tulisannya. Ada yang mengatakan bahwa mereka ingin sekolah yang bagus dan bersih, toilet yang bersih, sarana yang memadai, memiliki guru yang baik, menjadi siswa yang berprestasi dan mematuhi aturan, menjadi kakak kelas yang memberi contoh baik kepada adik kelas, hingga harapan mereka agar Saung Bambu memiliki tempat sendiri. Untuk yang satu ini, saya selaku bagian dari Saung Bambu merasa berdosa karena belum memenuhi harapan itu.

Mereka semakin terlihat percaya diri menyampaikan pendapatnya, terlepas dari bahasa yang terkadang tidak nyambung. Tapi, poin utamanya bukan salah atau benar, tapi mereka berani untuk tampil.

Keseriusan belajar akhirnya diselingi oleh "dor" game yang harus mengeliminasi siapapun yang tidak konsentrasi. Satu persatu keluar, dan Farraz menang setelah bertarung dengan Nilam. Suasana ceria hari ini membuat siapapun yang terlibat tidak akan lepas dari tawa. Kebersamaan yang menyenangkan. Sebelum pulang, adik-adik meminta saran untuk operasi semut di lapangan sekolah, dan tentu usulan itu kami iyakan.

Berada bersama mereka, berbagi hal-hal sederhana; canda, tawa, cerita, ilmu sebisanya, dan tentu nilai yang mungkin bisa mereka cerna, adalah langkah kecil kami, para pemuda yang ingin mendedikasikan diri untuk masyarakat. Kami peduli dengan pendidikan, dan ini adalah wujud nyata kepedulian kami. Karena pendidikan, tak selalu di dalam kelas. Tak selalu ilmu itu di dapat dari guru yang berseragam.

Hari ini, kami mendapatkan donasi buku dari Nurul Fikri Boarding School. Terima kasih Saung Bambu ucapkan untuk 6 siswa Nurul Fikri yang dengan kerelaan hati menyatakan diri sebagai relawan Saung Bambu. Welcome to be a part of Saung Bambu family.

Kami memulai dari apa yang kami bisa, untuk lingkungan terdekat dan mulai dari hari ini. Selamat hari pendidikan.

Read more ...

Jumat, 01 Mei 2015

Happy May Day 2015

1 Mei diperingati sebagai  #hariBuruh Internasional. Ini menjadi ajang untuk merayakan hari buruh bagi para pekerja. Biasanya, ada tuntutan yang disampaikan oleh para buruh oleh berbagai perwakilan serikat kerja. Masing-masing dari mereka membawa bendera serikat dengan tuntutan yang diajukan secara damai. Berbagai atribut menjadi pelengkap semaraknya perayaan May Day tersebut. Seragam berbeda, tuntutan berbeda, organisasi berbeda, namun mereka bersatu sebagai buruh, dengan semangat yang sama. May Day biasanya dilaksanakan dengan long march dari bunderan HI menuju Istana Merdeka. Dan juga di berbagai tempat di seluruh Indonesia secara serentak.

Hari ini, saya menyesal tidak ikut merayakan May Day karena kesehatan sedang terganggu. Saya sedang dalam masa penyembuhan dan perlu istirahat lebih banyak lagi. Namun, saya mengikuti kegiatan kawan-kawan dan terus membaca update tentang kegiatan semarak May Day.

Hal yang membuat saya merasa sedikit terganggu adalah membaca komentar-komentar miring tentang kawan-kawan buruh yang berjuang. Ada yang "tertawa" dengan kegiatan hari ini. Jenis tawa itu, menganggap kegiatan yang konyol karena hanya mengganggu lalu lintas saja. Bahkan, saya membaca postingan teman di Path yang menggugah foto di.sekitar Thamrin dengan berkata, "Whoa! Are they going to war or what lol". Ada juga ungkapan yang mengatakan bahwa "sebaik-baiknya pekerja adalah mereka yang bekerja di hari buruh, karena mereka adalah petugas dan digaji."

Ada lagi komentar lain yang terkesan selfish. "Jadi orang gak ada bersyukurnya, dikasih libur malah demo-demo segala, mending menghabiskan waktu bareng keluarga, mumpung ada waktu."

"Bersyukur aja sih jadi pekerja, cukup kerja yang baik, gaji juga nanti naik. Gak perlu demo-demo segala lah. Gak ada gunanya."

"Demo-demo melulu, minta upah naik, kerja gak dimaksimalkan."

Masih banyaklah komentar-komentar yang terkesan memojokan. Apalagi, ketika saya membaca berita tentang kecelakaan 4 bus yang ditumpangi buruh. Komentar miring dan seolah "menyalahkan" buruh menjadi pemandangan yang mengganggu mata saya. Bahkan ada yang mengatakan ,"gak sekalian mati aja semua, biar mengurangi jumlah pekerja". Saya cuma mengelus dada.

Sungguh, kebebasan berpendapat itu perlu. Tapi, setidaknya ada nilai yang bisa kita sampaikan untuk publik. Jika sekedar mencaci dan menyalahkan, saya pikir kurang etis. Semarak May Day yang dihiasi oleh kegiatan long march oleh para buruh dari berbagai tempat di sekitaran Istana Presiden dan berbagai tempat di Indonesia, tidak semestinya diidentikkan sebagai aksi demo yang urakan. Demo selalu dianggap sebagai kegiatan yang anarki. Padahal, untuk May Day ini, para buruh hanya menuntut haknya. Menyuarakan apa yang memang menjadi hal yang harus mereka peroleh sebagai pekerja. Semarak May Day bukan kegiatan sia-sia yang menghabiskan waktu dengan percuma, karena disinilah momen untuk menyatukan peran sebagai pekerja. Ya, mungkin tidak semua pekerja memiliki pandangan bahwa "berjuang harus ke jalanan", tapi tidakkah kita melihat bahwa apa yang mereka kerjakan, ketika mendapatkan hasil, tentu hasilnya bukan hanya dinikmati mereka yang berjuang di lapangan, tapi mereka juga yang memilih cara aman?

Selamat hari buruh. Semangat untuk perjuangan. Fight for right! Sekalipun kita tidak ikut aksi di lapangan, setidaknya kita bisa menghargai usaha mereka sebagai perjuangan. Karena protes tidak akan dilakukan oleh mereka yang diuntungkan secara keadaan. Jadi, jika memang kita adalah orang yang "beruntung"; dalam hal ini bekerja dengan gaji dan situasi kerja yang layak, atau memang kita adalah pengusaha, mungkin kita harus mulai membuka diri bahwa ada orang-orang di luar sana yang perlu menyampaikan suaranya dengan terlibat di lapangan. Karena segala bentuk keadilan harus ditegakan.

Dan bagi anda yang mungkin sudah berada dalam hidup yang "nyaman", marilah sama-sama berpikiran terbuka tentang kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri, bahwa perlu berjuang untuk mendapatkan keadilan. Berempati, mungkin itu kunci nya. Karena kita tidak bisa menyalahkan atau berpendapat begitu saja, sebelum benar-benar tahu makna apa yang terkandung di dalamnya.

Sekali lagi, HAPPY MAY DAY.

Sekedar suara dari seseorang yang belajar untuk mengerti.

Read more ...

Kamis, 30 April 2015

Belajar dari para PKL

Tepat pukul satu hari Kamis ini, saya mulai ujian Intermediate Japanese 1 di kampus Anggrek, di ruang 322, nomor kursi 26. Saya yang duduk di kursi pojok kiri barisan ketiga, datang agak telat. Seorang pengawas perempuan duduk di depan, dan teman kelas saya sudah sibuk mengisi lembar jawaban ujian. Saya menunjukan Binusian flazz card dan KMK, kemudian dua lembar kertas ujian berpindah tangan pada saya. Duduklah saya di kursi yang sudah diletakan kertas jawaban soal

Satu persatu tugas saya isi, entah benar atau tidak. Karena yang saya pelajari tidak ada di ujian tadi. Sudahlah, yang terpenting saya sudah berusaha dengan baik, hasilnya.. ya kita lihat saja nanti.

Seusainya ujian, saya langsung pamit pulang ke teman-teman yang masih duduk di luar, menunggu teman-teman lainnya yang masih mengerjakan ujian di dalam. Pukul dua siang hari, saya berjalan menuju gerbang kampus dan menunggu angkot 24 arah Slipi Jaya. Ada waktu tiga hari yang bisa saya luangkan di Anyer. Mengingat, besok adalah May Day dan untuk tahun ini saya memulai kegiatan dengan komunitas yang baru saya dirikan.

Ongkos 4ribu rupiah harus saya keluarkan setelah sampai di pasar Slipi Jaya. Tetiba perut menagih haknya. Saya mencari tempat terdekat untuk makan. Bagi kamu yang sering melewati Slipi, di kolong, tepatnya arah penyeberangan dari pasar Slipi ke Slipi Jaya, ada deretan pedagang kaki lima yang menjadi pemandangan khas tempat ini. Deretan pedagang kaki lima tersebut menyuguhkan beraneka makanan. Mulai dari nasi goreng, bakso, mi ayam, hingga soto. Saya yang sedang ingin makan makanan berkuah, memilih untuk makan soto ceker yang letaknya persis di depan pintu keluar bank BRI Slipi.

Ketika saya duduk di kursi panjang yang mengarah pada meja yang menempel pada pagar kawat besi, tak ada pedagang yang duduk disini. Seorang penjual mi ayam menatap ke arah saya.

"Mas, yang jual soto mana?"

Dia mengarahkan bola mata ke sekitar. Kemudian, dia berjalan mendekat. Lantas dia bertanya, "mau makan soto ayam apa ceker?"

"Ceker ya mas. Nasinya setengah aja."

Tangannya mulai meracik soto; mulai dari memasukan bihun, kol, bumbu, daun bawang, ceker hingga menggugurkan kuah pada semangkuk soto. Dia kemudian meletakkannya di hadapan saya dengan sikap ramah ala pedagang.

"Mbak, nasinya segini cukup?"

Saya melihat porsi nasi yang dia takar, saya anggukan kepala. Menu makan siang pun siap disantap. Tak lupa, segelas es teh manis menjadi pelengkap. Kemudian, lelaki yang melayani di warung soto tersebut berjalan kearah gerobak mi ayam miliknya.

Saya mulai mengagumi kebersamaan para pedagang kaki lima tersebut. Ketika pedagang soto tidak ada di tempat, justru dengan sukarela dia melayani pelanggan tanpa perintah. Tentu saja, itu bukan kebetulan. Yang terpikir dibenak saya adalah ikatan. Rasa memiliki dan peduli satu sama lain. Berjualan, sama-sama mencari keuntungan, tapi saling melengkapi, bukan berkompetisi. Situasi seperti ini kerap saya jumpai di tempat-tempat makan kaki lima seperti ini. Makan selesai, penjual sotopun datang. Ya, saya membayar biaya makan siang dan bergegas menuju halte Slipi Jaya. Hari ini, mengajarkan saya tentang ikatan persaudaraan dari mereka.

Read more ...
Designed By